By : Aang Wierodjampang
Bagi keluarga utuh berkumpul selalu setiap hari dengan rutinitas kehidupan yang normal,dimana kepala keluarga pergi pagi pulang sore atau petang, tetapi toh tetap bisa bertemu dengan semua anggota keluarga di malam harinya.
Adalah suatu nikmat dan anugrah dari Tuhan yang luar biasa.
Paling tidak masih bisa mengontrol dan melihat dengan mata kepala sendiri kondisi anak-anak kita sehari-hari,mulai dari dengan siapa mereka berteman,catatan aktivitas keseharian mereka,dan macam tingkah laku yang dilakukan mereka hampir setiap saat.
Namun tidak bisa begitu bagi kami yang harus tinggal berjauhan karena tuntutan pekerjaan, seperti saya misalnya, yang harus tinggal di Luar Negeri berjarak ribuan kilometer dari rumah dan keluarga selama bertahun -tahun.
Kekhawatiran yang utama ketika seorang kepala keluarga adalah khawatir kepada anak-anak,meskipun ya sering kali juga ke ibunya juga..hehe.
Khawatir anak-anak kita sekolahnya tidak benar,pergaulannya tidak beres,keselamatannya terancam,perkembangan fisik dan psikisnya terganggu,khawatir akhlaknya rusak,karena kurangnya perhatian dari figur seorang Ayah.
Tidak jarang yang Ayah atau Ibunya sukses meraih materi di luar negeri namun gagal di pendidkan anak-anaknya,anak-anak mereka menjadi anak badung di tanah air,menjadi berandalan,terlibat pergaulan bebas dan rusak,narkoba,kenakalan remaja dan seks bebas.
Dilema memang antara kebutuhan akan pemenuhan kebutuhan hidup,ketika menjadi BMI di luar negeri dengan kekhawatiran terhadap perkembangan anak-anak di tanah air.
Dewasa ini banyak sekali cara untuk sekedar menitip anak-anak usia SLTP ke bawah ini,lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan asrama lengkap dengan program tercanggihnya dan serba modern,tentu saja bagi yang isi koceknya tebal tidak masalah,tetapi bagi kami kaum menengah ke bawah biaya yang ditarif mereka tidak terjangkau.Bagi ukuran saku kami (saya) BMI,sangat mahal,tidak mungkin masuk ke sana.
Beberapa tahun ini sejak anak pertama yang kini sudah SLTP kelas satu,dan kedua kelas enam SD dari sejak usia dini saya titipkan ke sebuah Pesantren yang (maaf) saya sebut masih “konvensional” meskipun di dalam prakteknya mereka mengikuti juga metoda modern.
Maksud saya suasana dan kondisinya masih seperti jaman “konvensional" dahulu,yaitu dimana pesantren dan lingkugannya masih netral,tidak ada muatan politis apapun,semua infrastruktur dan suprastrukrtur pesantren dibuat dan dibangun dengan semangat kemandirian lingkungan pesantren itu sendiri.
Ditmbah dengan figur kepemimpinan yang khas Kyai Pesantren,mandiri,netral dan konsisten dengan perhatian penuh ke pendidikan tentang Agama Islam,tidak bermuatan politis,ke pesantren macam begini jangan coba-coba mendikte mereka,anda akan malu sendiri.
Mereka membangun Mesjidnya mandiri,membangun pondoknya mandiri,dan sosok Kyai Sepuh-nya yang layak menjadi tauladan bagi para santri dan khalayak umum,akhlaknya Insya Allah terjaga.
Saat ini hati saya yang sedang jauh dari anak-anakku, menjadi BMI di sebuah semenanjung ranah Saudi Arabia,sangat tentram dan percaya menitipkan anak-anakku disana untuk menerima gemblengan berbagai ilmu lahriah dan bathiniah buat kehidupan setelah dewasa mereka kelak.
Cocok untuk menitipkan anak usia TK,SD dan SLTP bagi yang keluarga yang selalu ditinggal jauh bertahun-tahun oleh kepala keluarganya,ke pesantren macam begini,konvensional tetapi mereka juga sudah memakai metoda pendidikan sentuhan modern.
“Menitipkan” Pendidikan anak ke lembaga yang bagaimanapun pastilah akan baik,apalagi yang modern tetapi bagi kami ,menitipkan pendidikan anak ke pesantren konvensional “lebih” menentramkan pikiran dan hati ketika diri ini jauh dari mereka.
0 comments:
Posting Komentar